Sepertinya panggung teater belum
pindah tahtanya. masih dihadapanku. tepat didepanku. tidak menyerong kanan
maupun kiri. ya tepat lurus didepanku dan ami, teman tidur sekian bulan ini
selama aku di tanah perantauan. Sejak masuk ruangan pertunjukan dan siap
menyimak pementasan dengan duduk bersilah di lantai gedung yang cukup luas
ini, aku sudah dimanjakan dengan set
artistik yang menurutku sederhana tapi kaya makna, setiap benda diatas panggung
seperti memiliki nyawa masing-masing. Ya, seperti penonton yang dapat dikatakan
tidak sedikit ini, memiliki nyawa masing-masing, raga masing-masing, dan rasa
masing-masing.
Seorang announcer keluar dari balik
sayap panggung dengan yakin, memberikan sambutan selamat datang sambil
membacakan sinopsis dari naskah “Sulandana Sulasih” yang akan di pentaskan
beberapa saat lagi. Setelah sang pembawa kabar mengkode bahwa pementasan akan segera dimulai dengan mengucapkan
“Selamat Menyaksikan..!!” lampu diruangan tiba-tiba padam, hanya lampu panggung
yang tetap menyala, itupun hanya lampu adegan opening berwarna hijau dan merah
di sudut kanan panggung.
Ami yang duduk dibarisan depanku
menggeser duduknya kesebelahku, dia membisikkan sesuatu padaku, yang ku dengar
“lama-lama mataku iritasi duduk disini”. Entah benar seperti itu atau bukan
yang ia bisikan padaku, suaranya samar-samar ku dengar karena beriringan dengan
suara musik gamelan dari pertunjukan teater yang sedang kami saksikan. Aku
dibuat bingung oleh sikapnya, tapi “aahhh, nanti juga dia akan cerita kenapa”
pikirku saat itu, dan aku kembali fokus pada pertunjukkan.
Sudah beberapa adegan yang kami
saksikan, hingga pada dialog pemain yang membuatku terenyuh. Dewi Rantamsari mengatakan
“Sulasih, aku tau cintamu begitu besar pada Sulandana anakku. Aku berjanji akan
mempertemukan kau dengannya asalkan kau tetap menjadi Lengger (Penari yang
suci, budaya Jawa tengah), karena Lengger yang akan mempertemukan kamu dengan
Sulandana. aku tidak peduli dengan Bahurekso
ayahnya. Sekuat dia tidak menyetujui hubungan kalian, sekuat itu pula aku akan mempertahankan
hubungan kalian”, begitu kira-kira dialognya. Cinta memang akan tepat
datangnya, aku percaya cinta tak pernah (ingin) telat. Cinta bukan tidak tepat
hanya saja kita yang membuat cinta tidak tepat. Cinta bukan tidak tepat waktu,
tapi dia hanya tersesat saat ingin menemui kita demi mencari jalan yang lebih
cepat menuju kita. Percayalah, cinta bukan tidak tepat waktu hanya saja mungkin
kamu yang masih terjebak di detik cinta masalalu. Ya, cinta bukan tidak tepat
waktu, mungkin dia terjebak hujan — hujan
kegelisahanmu, tenanglah biar segera terang dan dia akan datang padamu.
Tiba-tiba Ami menyenggol lengan
kanan ku “mbak, lihat..!”, matanya menuju ke arah penonton yang duduknya agak
depan, sebelah kanan panggung, lumayan jauh dari tempat kita duduk. Ada dua
pasang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki aku jelas tau betul siapa dia,
dia Tedy yang sering Ami ceritakan padaku menjelang tidurnya beberapa kali.
Tapi, tunggu. Siapa perempuan disebelahnya? Asing.
Pertunjukkan sudah berjalan
setengahnya, banyak adegan yang membuat penonton tertawa terpingkal, termasuk
aku. Tapi melihat perempuan disebelahku rasanya aneh, dia diam saja. Aku
tanyapun dia hanya menjawab sekenannya. Mungkin dia cemburu atau sedang menata
hatinya fikirku. Sesekali pandangannya ia belokkan ke arah depan kanan tempat
duduk kita, siapa lagi yang bukan ia lihat kalo bukan lelaki itu. ku lihat mata
mereka saling bertatapan dari kejauhan, si lelaki seperti mencari celah
memandang perempuan disebelahku dari balik bahu perempuan disampingnya.
“menyebalkan, dasar laki-laki.
Bisanya bawa terbang cewe sejauh mungkin dan setelah jauh, saat perempuan sudah
menikmati penerbangannya, akan dengan tiba-tiba dia menghempaskan perempuan ke
bumi..” aku hanya menggerutu dalam hati. Tedy memang berhak jalan dngan siapapu, tapi mbok ya sedikit saja masa tidak mengerti posisi Ami yang baru ditinggalkannya du bulan lalu. hati Ami masih sangat rapuh dengan segala hal tentang Tedy. ya rapuh yang ia bungkus dengan sok ketegarannya.
Ku lihat Tedy ikut terbahak melihat
pertunjukkan, begitupun perempuan berjilbab disampingnya. Sesekali si perempuan
memukul kecil bahu Tedy sambil tertawa dan kemudian menenggelamkan mukanya
dibahu Tedy. Perempuan itu pasti nyaman disebelah Tedy, ya ayng ak tahu Tedy
memang tipe lelaki yang sangat enak di ajak bicara, wawasannya luas dan guyon nya tidak garing. Pantas jika Ami pernah benar-benar menganggapnya adalah
pilihan terakhir untuk hidupnya.
Makin lama Ami makin sering melihat
ke arah dua sejoli yang asik tertawa melihat pertunjukkan, air mukanya sangat
menyiratkan isi hatinya, matanya tiba-tiba layu. Sekarang aku tahu pasti bahwa
Ami-ku sedang cemburu. Bayangannya kembali pada tahun-tahun dimana dia juga
melakukan hal yang sama seperti perempuan disebelah Tedy. Menyaksikan
pertunjukkan teater bareng sambil menceritakan adegan-adegan yang membuat
terkesan, entah itu lucu, senang, sedih atau bahkan adegan-adegan yang tidak disangka.
Aku yang menatapnya tak tega, aku pernah ada diposisi itu, sangat menyakitkan.
Darah seperti sedang dibakar dan membuat desirannya semakin deras menuju saraf
terkecil dikepala. Beberapa kali aku menepuk pundak Ami untuk menyadarkan
lamunannya yang dibawa Tedy.
Ki Bahurekso mengeluarkan kerisnya
dengan mengatakan “sulandana, sampai kapan pun aku tidak akan menyetujui
hubunganmu dengan Sulasih, karena Sulasih adalah Anakku..!!!”. kalimat terakhir
dibarengi denga hunusan keris Bahurekso pada Sulasih. Kemudian gelap.
Satu jam sepuluh menit, seluruh
lamu di ruangan kembali dinyalakan, pertunjukkan akhirnya selesai. Seperti
biasa, setelah tokoh tidak lagi menjadi satu dengan pemain, penonton dan tim
produksi mengadakan obrolan-obrolan ringan tentang pementasa. Annoncer yang
tadi membuka acara keluar lagi dan menjadi moderator di acara tersebut. Aku,
Ami, Tedy, perempuan disamping Tedy dan beberapa penonton lainnya masih berada
di ruangan untuk ngobar (NGObrolBareng).
Ku lihat mata Ami sangat sembab,
sepertinya dia menangis saat tak ada cahaya yang menyorot ke wajahnya. Ya, aku
tahu betapa sakit rasanya diposisi itu. sakit sekali.
“perempuan tadi siapa?” ku
beranikan menanyakan hal itu pada Ami setelah ku lihat dia mulai sedikit
tenang. “perempuan itu istri mas Tedy mbak...” jawab Ami tegar sambil
tersenyum. Tidak lama dia menenggelamkan wajahnya di pundakku, ku lihat bahunya
naik turun tidak beraturan. Dia menangis (lagi). Terlalu banyak orang diruangan
ini, tidak ada yang memperhatikan kita sepertinya, syukurlah.
Seperti yang dikatakan oleh ibu
Sulandana, “Cinta Akan Datang Karena Lengger”. Bukan karena Lengger menurutku,
tapi karena cinta itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar