Jumat, 21 Juni 2013

Muhasabah Be Better




“Pada dasarnya manusia punya “sangat” banyak cara untuk membela dirinya sendiri, baik itu dengan cara yang dapat dikatakan baik ataupun dengan cara yang buruk, cara yang baik seperti mengungkapkan motivasi sebenarnya secara jujur atas apa yang dilakukan dan cara buruk seperti berbohong untuk melindungi diri atau orang lain supaya tidak di judging.”

Percaya atau tidak, orang yang punya masalah lebih baik bermuhasabah diri (introspeksi) dari pada harus bercerita kebanyak orang tentang masalahnya, berharap ada orang yang tahu seperti apa jalan keluar dari masalahnya itu. Jika sudah begitu, jangan heran ketika kamu cerita ke 10 orang maka 100 orang yang akan tahu permasalahn kamu. Ingat dari 10 orang yang kamu ceritakan masalah kamu, maka aka nada 10 jawaban atas masalah kamu, dan pada akhirnya kamu sendiri yang harus  memutuskan harus berbuat apa untuk menyelesaikan masalahmu. Kebayang dong bagaimana ribetnya???

Orang-orang yang kamu ceritakan masalahmu, pasti memiliki motivasi atau tujuan yang berbeda-beda dalam menyelesaikan masalahmu. Katakanlah mereka “ingin memberikan masukan yang terbaik”, yang terbaik menurut siapa dan untuk siapa? Kan yang baik menurut mereka belum tentu terbaik buat kita juga. Kita atau katakanlah “aku dan kamu” mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dan pengalaman hidup yang juga pasti berbeda, so pasti pendapat yang diberikan juga akan berbeda. Itu kenapa bermuhasabah lebih baik. Karena pada saat kita berada pada titik nol-lah kita akan tahu bagaimana seharusnya bersikap dan bertindak yang sesuai kita.

Tidak jarang, orang yang diajak curhat  atau pendengar kita itu akan berpihak pada dirinya. Menjadikanmu “seolah-olah” sama seperti dirinya. Menyelesaikan masalah dengan caranya menyelesaikan masalah, dengan pengelaman yang “seolah-olah” sama dengan pengelaman yang kita curhat-kan. Baiklah katakan permasalahannya mirip, tapi ingat dia bukan kita dan kita bukan dia. Sekalipun permasalahannya sama, tapi hati kita dan hati dia berbeda, cara dia dan cara kita dalam menyelesaikan permasalahan berbeda, cara menyikapi permasalahannya berbeda, dan banyak beda-beda yang lainnya. 

Tapi ini bukan maksud untuk melarang menceritakan masalah kita (red.curhat), terkadang kita memang perlu bercerita dan meminta pendapat dari orang lain untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Terlebih lagi untuk kaum perempuan yang mempunyai kebutuhan berbicara lebih banyak dua kali lipat dari laki-laki. Nah, alangkah bijaknya orang lain itu adalah orang yang memang tahu betul bagaimana penyelesaian masalahnya, bukan orang yang asal bisa diajak curhat. Bisa fatal akibatnya, karena bukannya masalah kita dapat penyelesaaian malahan akan menambah masalah.

Apapun masalahnya, cobalah untuk menyelesaikannya sendiri dulu. Jika sudah kita coba kita tidak mampu, ceritakan masalahmu pada orang yang tepat. Orang yang tidak berkepentingan atau tidak mempunyai sangkut paut dengan masalahmu sebaiknya tidak mengetahuinya. 

Ada sebuah lagu dari band indie asal Jogja, Captain Jack yang berjudul Pahlawan. Menurutku liriknya bagus untuk para curhatters.
Selalu banyak tangan, tawarkan pertolongan
Namun akhirnya pamrih diharapkan
Rahasia dibagi, dengan mudahnya terbongkar
Kutah butuh pahlawan, ku tak butuh penyelamat hidup
Yang ku butuhkan waktu untuk sembuhkan
Semua luka……

Bahwasannya, pahlawan untuk diri kita ya diri kita sendiri. Kerahkan semua tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan permasalahanmu sendiri (terlebih dahulu). Orang lain pasti punya kepentingan atas masalahmu, sebagai bahan obrolan ditengah orang-orang diluar kita mungkin. Bayangkan jika benar terjadi seperti itu, berapa banyak yang kan tahu permasalahan kita.

Percayalah pada kemampuan diri sendiri bahwa kita menyelesaiakan apapun masalah yang datang menyapa. Yakinilah permasalahan itu hanya datang menyapa sesaat, setelahnya akan jadi pelajaran berharga dan sumber power saat kita menghadapi sapaan-sapaan lain didepan yang belum kita temui.

Tuhan menciptakan manusia dengan otak dan hati, pikiran dan perasaan. Itu adalah dua hal yang harusnya bisa saling menyeimbangkan. Berbaik sangkalah pada yang Maha Cinta.

Minggu, 09 Juni 2013

Noberic, 9 Juni 2013
Pukul 13.00

Entah sudah berapa weekend ku habiskan ditempat ini, masih dengan tatanan yang sama seperti sebelum hari ini. bisa dikatakan ini adalah tempat nongkrong favorit anak muda di Kota Noberic. Selain karena harga makanannya pas dikantong, tempatnya juga cozy. Dari tempat ini pengunjung yang datang bisa melihat keramaian kota dari ketinggian. Tempat yang menjadi favorit ku juga untuk menghabiskan waktu luang saat tak ada yang bisa ku ajak bicara. Tak ada yang bisa ku ajak bicara, ya aku seperti sendirian di Noberic.

Dari tempatku duduk, aku dapat menyapu seluruh sudut food court. Mereka bersama pasangannya masing-masing, ada juga yang datang bersama teman bahkan mungkin ada yang datang ketempat ini dengan selingkuhannya. Mungkin. Hanya aku  yang duduk sendirin, ya aku benar-benar sendiri. Aku tidak menunggu kedatangan siapapun.

Dua bangku didepan dari tempat ku duduk ada sepasang remaja putri yang tampak asik mentertawakan entah apa. Aku jadi teringat sahabat-sahabatku, mungkin kalo saja mereka ada disini akupun sedang melakukan hal yang sama seperti mereka.

Tepat dimeja sebelah kananku ada sepasang “sepertinya” kekasih. Mereka tampak sedang memperdebatkan sesuatu. Sayup-sayup ku dengar suara mereka, si cewek seperti sedang memarahi cowoknya. “makannya kamu langsung angkat kalo aku telfon, biar aku ga curiga terus.aku takut kamu kenapa-napa yank”. Cewek itu lalu kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan yang sejak tadi sibuk menggenggam angin.

Mataku kembali pada pasangan sebelumnya. “Astaga..!!” apa yang sedang dilakukan dua remaja putri dihadapanku sungguh menunjukkan hal yang tidak bermoral. Menjijikan. Cewek yang dandanannya menyerupai lelaki itu mencium bibir cewek yang berpakaian sangat feminim. Tangannya, coba lihat tangan si tomboy berada tepat di gundukan dada si feminim, oh sungguh aku merasa jijik melihatnya. Tidak ada petugas yang menegur??? Tanyaku dalam hati.

Noberic sudah se-homogen ini orang-orangnya, entah dimana letak tata krama yang menjadi ciri Noberic dulu. rasa malu sudah lama menguap rupanya, mungkin sejak makin menjamurnya gedung-gedung tinggi dengan nama dan aktifitas kebarat-baratannya. Oh Noberic yang dulu selalu jadi tujuan untuk hijrah, kini masyarakatnya malah menjadi jahil.

Angin menerpa wajahku dengan ganasnya, rambutku yang sengaja ku gerai sudah tidak serapih satu jam yang lalu saat aku baru saja naik ketempat ini, angin laut Noberic seperti sedang menunjukkan kekuatannya, dan mengatakan “kalau saja Tuhan tidak berpuasa, aku bisa saja meluluh lantahkan kota kecil ini. sayangnya Tuhan sangat menyayangi manusia disini, hingga Tuhan tetap berpuasa untuk tidak menyuruhku meluluh lantahkan isi kota ini”.

Tingkah dua remaja putri dihadapanku semakin menjadi, tangan si tomboy makin berani menggerayangi cewek feminim. Mereka duduk semakin merosot dari kursi, sepertinya mereka tau orang disekitar sini memperhatikan mereka. Tiba-tiba seorang bapak berpakaian casual menghampiri mereka, menggebrak meja dengan umpatan-umpatan yang jebol dari mulutnya. Hampir semua mata tertuju pada meja no 04, ada yang menghendaki si bapak bertindak, ada juga yang tidak setuju dan mengumpat dibelakang. Sedangkan aku hanya diam, sama seperti banyak orang lainnya. Tidak peduli.

Sepasang kekasih yang bertengkar tadi, dimana mereka. Oh mungkin mereka keluar tempat ini saat mataku memperhatikan adegan bapak tadi. Sungguh, ini seperti FTV-FTV pagi, seperti mengada-ada. Atau jangan-jangan mereka memang terinspirasi dari peran yang di mainkan idola mereka di FTV??? Hahahaha, entahlah.


Aku melirik jam ditanganku, sudah hampir jam tiga sore rupanya. Lebih baik aku pulang dan mengistirahatkan tubuhku, benar-benar istirahat.

Cinta Bukan Tidak Tepat Waktu

Sepertinya panggung teater belum pindah tahtanya. masih dihadapanku. tepat didepanku. tidak menyerong kanan maupun kiri. ya tepat lurus didepanku dan ami, teman tidur sekian bulan ini selama aku di tanah perantauan. Sejak masuk ruangan pertunjukan dan siap menyimak pementasan dengan duduk bersilah di lantai gedung yang cukup luas ini,  aku sudah dimanjakan dengan set artistik yang menurutku sederhana tapi kaya makna, setiap benda diatas panggung seperti memiliki nyawa masing-masing. Ya, seperti penonton yang dapat dikatakan tidak sedikit ini, memiliki nyawa masing-masing, raga masing-masing, dan rasa masing-masing.

Seorang announcer keluar dari balik sayap panggung dengan yakin, memberikan sambutan selamat datang sambil membacakan sinopsis dari naskah “Sulandana Sulasih” yang akan di pentaskan beberapa saat lagi. Setelah sang pembawa kabar mengkode bahwa pementasan akan segera dimulai dengan mengucapkan “Selamat Menyaksikan..!!” lampu diruangan tiba-tiba padam, hanya lampu panggung yang tetap menyala, itupun hanya lampu adegan opening berwarna hijau dan merah di sudut kanan panggung.

Ami yang duduk dibarisan depanku menggeser duduknya kesebelahku, dia membisikkan sesuatu padaku, yang ku dengar “lama-lama mataku iritasi duduk disini”. Entah benar seperti itu atau bukan yang ia bisikan padaku, suaranya samar-samar ku dengar karena beriringan dengan suara musik gamelan dari pertunjukan teater yang sedang kami saksikan. Aku dibuat bingung oleh sikapnya, tapi “aahhh, nanti juga dia akan cerita kenapa” pikirku saat itu, dan aku kembali fokus pada pertunjukkan.

Sudah beberapa adegan yang kami saksikan, hingga pada dialog pemain yang membuatku terenyuh. Dewi Rantamsari mengatakan “Sulasih, aku tau cintamu begitu besar pada Sulandana anakku. Aku berjanji akan mempertemukan kau dengannya asalkan kau tetap menjadi Lengger (Penari yang suci, budaya Jawa tengah), karena Lengger yang akan mempertemukan kamu dengan Sulandana. aku  tidak peduli dengan Bahurekso ayahnya. Sekuat dia tidak menyetujui hubungan kalian, sekuat itu pula aku akan mempertahankan hubungan kalian”, begitu kira-kira dialognya. Cinta memang akan tepat datangnya, aku percaya cinta tak pernah (ingin) telat. Cinta bukan tidak tepat hanya saja kita yang membuat cinta tidak tepat. Cinta bukan tidak tepat waktu, tapi dia hanya tersesat saat ingin menemui kita demi mencari jalan yang lebih cepat menuju kita. Percayalah, cinta bukan tidak tepat waktu hanya saja mungkin kamu yang masih terjebak di detik cinta masalalu. Ya, cinta bukan tidak tepat waktu, mungkin dia terjebak hujan hujan kegelisahanmu, tenanglah biar segera terang dan dia akan datang padamu.

Tiba-tiba Ami menyenggol lengan kanan ku “mbak, lihat..!”, matanya menuju ke arah penonton yang duduknya agak depan, sebelah kanan panggung, lumayan jauh dari tempat kita duduk. Ada dua pasang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki aku jelas tau betul siapa dia, dia Tedy yang sering Ami ceritakan padaku menjelang tidurnya beberapa kali. Tapi, tunggu. Siapa perempuan disebelahnya? Asing.

Pertunjukkan sudah berjalan setengahnya, banyak adegan yang membuat penonton tertawa terpingkal, termasuk aku. Tapi melihat perempuan disebelahku rasanya aneh, dia diam saja. Aku tanyapun dia hanya menjawab sekenannya. Mungkin dia cemburu atau sedang menata hatinya fikirku. Sesekali pandangannya ia belokkan ke arah depan kanan tempat duduk kita, siapa lagi yang bukan ia lihat kalo bukan lelaki itu. ku lihat mata mereka saling bertatapan dari kejauhan, si lelaki seperti mencari celah memandang perempuan disebelahku dari balik bahu perempuan disampingnya.

“menyebalkan, dasar laki-laki. Bisanya bawa terbang cewe sejauh mungkin dan setelah jauh, saat perempuan sudah menikmati penerbangannya, akan dengan tiba-tiba dia menghempaskan perempuan ke bumi..” aku hanya menggerutu dalam hati. Tedy memang berhak jalan dngan siapapu, tapi mbok ya sedikit saja masa tidak mengerti posisi Ami yang baru ditinggalkannya du bulan lalu. hati Ami masih sangat rapuh dengan segala hal tentang Tedy. ya rapuh yang ia bungkus dengan sok ketegarannya.

Ku lihat Tedy ikut terbahak melihat pertunjukkan, begitupun perempuan berjilbab disampingnya. Sesekali si perempuan memukul kecil bahu Tedy sambil tertawa dan kemudian menenggelamkan mukanya dibahu Tedy. Perempuan itu pasti nyaman disebelah Tedy, ya ayng ak tahu Tedy memang tipe lelaki yang sangat enak di ajak bicara, wawasannya luas dan guyon nya tidak garing. Pantas jika Ami pernah benar-benar menganggapnya adalah pilihan terakhir untuk hidupnya.

Makin lama Ami makin sering melihat ke arah dua sejoli yang asik tertawa melihat pertunjukkan, air mukanya sangat menyiratkan isi hatinya, matanya tiba-tiba layu. Sekarang aku tahu pasti bahwa Ami-ku sedang cemburu. Bayangannya kembali pada tahun-tahun dimana dia juga melakukan hal yang sama seperti perempuan disebelah Tedy. Menyaksikan pertunjukkan teater bareng sambil menceritakan adegan-adegan yang membuat terkesan, entah itu lucu, senang, sedih atau bahkan adegan-adegan yang tidak disangka. Aku yang menatapnya tak tega, aku pernah ada diposisi itu, sangat menyakitkan. Darah seperti sedang dibakar dan membuat desirannya semakin deras menuju saraf terkecil dikepala. Beberapa kali aku menepuk pundak Ami untuk menyadarkan lamunannya yang dibawa Tedy.

Ki Bahurekso mengeluarkan kerisnya dengan mengatakan “sulandana, sampai kapan pun aku tidak akan menyetujui hubunganmu dengan Sulasih, karena Sulasih adalah Anakku..!!!”. kalimat terakhir dibarengi denga hunusan keris Bahurekso pada Sulasih. Kemudian gelap.

Satu jam sepuluh menit, seluruh lamu di ruangan kembali dinyalakan, pertunjukkan akhirnya selesai. Seperti biasa, setelah tokoh tidak lagi menjadi satu dengan pemain, penonton dan tim produksi mengadakan obrolan-obrolan ringan tentang pementasa. Annoncer yang tadi membuka acara keluar lagi dan menjadi moderator di acara tersebut. Aku, Ami, Tedy, perempuan disamping Tedy dan beberapa penonton lainnya masih berada di ruangan untuk ngobar (NGObrolBareng).

Ku lihat mata Ami sangat sembab, sepertinya dia menangis saat tak ada cahaya yang menyorot ke wajahnya. Ya, aku tahu betapa sakit rasanya diposisi itu. sakit sekali.

“perempuan tadi siapa?” ku beranikan menanyakan hal itu pada Ami setelah ku lihat dia mulai sedikit tenang. “perempuan itu istri mas Tedy mbak...” jawab Ami tegar sambil tersenyum. Tidak lama dia menenggelamkan wajahnya di pundakku, ku lihat bahunya naik turun tidak beraturan. Dia menangis (lagi). Terlalu banyak orang diruangan ini, tidak ada yang memperhatikan kita sepertinya, syukurlah.


Seperti yang dikatakan oleh ibu Sulandana, “Cinta Akan Datang Karena Lengger”. Bukan karena Lengger menurutku, tapi karena cinta itu sendiri.