Sabtu, 15 Desember 2012

MENATAP HUJAN DARI KETINGGIAN



Dingin udara malam menembus dinding kamar si nona di lantai 4 asrama putri kampusnya, menyeruak hingga ke bagian terdalam ditubuh yang letaknya tersembunyi jauh dibalik tulang rusuk. malam minggunya hanya ditemani secangkir kopi dan setumpuk beban dipundaknya. "adakah tempat untuk membagi kesahku saat ini" lirih ucapnya tersamar suara hujan yang semakin deras. hujan ditemani kilat dan petir seperti hatinya yang sedang bergejolak mencari tambatan, muara untuk melepas kisah. tak ada yang datang, sendiri diketinggina sudah menjadi kebiasaannya setiap malam minggu datang.

Hatinya pernah tertusuk luka dalam, dalam masa pemulihan lukanya sempat tersiram air garam, membuatnya semakin lama terluka. Tapi itu sudah hampir setahun yang lalu,  hatinya tak terbuka untuk siapapun yang coba mengetuk. Keraguan dan ketakutan merajai hatinya. Seolah tak ada kesempatan secuilpun untuk siapapun.



Hujan makin deras membasahi bumi, si nona masih terpaku di balkon asramanya, menikmati suara hujan yang bersautan dengan jangkrik genggong sambil menatapi redup lampu kota dan mondar mandirnya laju kendaraan. Matanya terfokus pada satu menara tinggi disebelah utara tempatnya berdiri, menara itu lebih tinggi dari tempatnya sekarang berdiri, saat penat mendera ia selalu menghabiskan waktu diatas menara itu, angin diatas sana seakan sellau setuju dengan apa yang ada dihatinya, entah bagaimana bisa si nona berfikir demikian. Ia hanya merasa belum ada orang yang benar2 mengerti dirinya. Mencari sampai akhir takdir menginjak bumi, saat lelah menggunung dipundak dia berdiam menyembunyikan lelah dibalik senyumnya.

Berharap malam ini sang nona bisa tidur lebih nyenyak, tak seperti malam2 sebelum ia menangis dan berteriak di balkon asramanya. SLQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar