Dingin
udara malam menembus dinding kamar si nona di lantai 4 asrama putri kampusnya,
menyeruak hingga ke bagian terdalam ditubuh yang letaknya tersembunyi jauh
dibalik tulang rusuk. malam minggunya hanya ditemani secangkir kopi dan
setumpuk beban dipundaknya. "adakah tempat untuk membagi
kesahku saat ini" lirih
ucapnya tersamar suara hujan yang semakin deras. hujan ditemani kilat dan petir
seperti hatinya yang sedang bergejolak mencari tambatan, muara untuk melepas
kisah. tak ada yang datang, sendiri diketinggina sudah menjadi kebiasaannya
setiap malam minggu datang.
Hatinya
pernah tertusuk luka dalam, dalam masa pemulihan lukanya sempat tersiram air
garam, membuatnya semakin lama terluka. Tapi itu sudah hampir setahun yang
lalu, hatinya tak terbuka untuk siapapun
yang coba mengetuk. Keraguan dan ketakutan merajai hatinya. Seolah tak ada
kesempatan secuilpun untuk siapapun.
Hujan
makin deras membasahi bumi, si nona masih terpaku di balkon asramanya,
menikmati suara hujan yang bersautan dengan jangkrik genggong sambil menatapi
redup lampu kota dan mondar mandirnya laju kendaraan. Matanya terfokus pada
satu menara tinggi disebelah utara tempatnya berdiri, menara itu lebih tinggi
dari tempatnya sekarang berdiri, saat penat mendera ia selalu menghabiskan
waktu diatas menara itu, angin diatas sana seakan sellau setuju dengan apa yang
ada dihatinya, entah bagaimana bisa si nona berfikir demikian. Ia hanya merasa
belum ada orang yang benar2 mengerti dirinya. Mencari sampai akhir takdir
menginjak bumi, saat lelah menggunung dipundak dia berdiam menyembunyikan lelah
dibalik senyumnya.
Berharap malam ini sang nona bisa tidur lebih nyenyak, tak seperti malam2 sebelum ia menangis dan berteriak di balkon asramanya. SLQ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar