Minggu, 30 Desember 2012

Seutas kisah dari negeri antah barantah....



PUNGUTAN LIAR
DI LEMBAGA PENDIDIKAN ANTAH BARANTAH

Sebut saja aku “Mozaik” seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu Universitas yang sedang dalam proses penegrian yang tak kunjung terealisasi di kota yang sedang bergerak  menjadi kota Megapolitan *katanya*. Di kampus aku bukanlah orang yang berpengaruh di kampusku, aku hanya mahasiswa biasa yang punya kegiatan keorganisasian juga tidak banyak dan tidak begitu aktif. Aku juga bukan mahasiswa yang pintar di kelas, tapi walau begitu tidak sedikit dosen yang mengenaliku. Termasuk para petinggi di Fakultasku. Mungkin itu karena seringnya aku terlihat berkeliaran di kampus pada jam-jam yang bukan jam kuliah karena kegiatanku. Meskipun aku biasa-biasa saja, dengan usaha (nilai) dan link yang aku punya di pihak dekanat fakultas, aku bisa mendapatkan beasiswa yang jumlahnya lumayan untuk kemampuan ekonomi keluargaku, setidaknya orang tua ku tidak harus mengeluarkan lebih banyak uang dalam proses skripsi sampai wisuda ku (aamin).

Dalam proses penyeleksian beasiswa itu aku menilai kurang objektifnya pihak dekanat menilai, mungkin juga terhadapku. Aku dinilai dekat dekan pihak dekanat dan para dosen, maka dengan mudahnya aku lolos seleksi tersebut. Bisa jadi hal ini juga terjadi karena informasi beasiswa hanya sampai pada telinga mahasiswa-mahasiswa tertentu saja, dan aku termasuk dari mahasiswa tertentu itu. Aku bukan orang yang vokal terhadap apapun permasalah di kampusku, aku masih takut, aku khawatir gerakan sedikitku akan berakibat fatal pada nilai mata kuliah yang ku ambil. Apapun kebusukan yang ku ketahui aku pendam sendiri, atau hanya aku diskusikan dengan teman yang sama-sama tipe chicken sepertiku, tidak pernah sampai ke kuping petinggi. “yang penting aku sih aman aja deh” itu yang ada dalam pikiranku.

Hari ini entah dari mana datangnya seperti ada yang ingin aku dobrak dari ketidakmampuan yang lama ada didiriku, aku yang biasanya “asal aman” sekarang tidak mau lagi, aku ingin kebusukan yang ku ketahui di pihak petinggi lembaga pendidikanku terbongkar dan dilenyapkan. Aku dan teman-temanku tidak boleh lagi jadi korban para pengkhianat yang dengan asiknya menggerogoti ketidakberdayaan aku dan kita. Dengan beasiswa yang diberikan, itu berarti harus ada rokok/makanan/ongkos yang harus kita berikan setelah penandatanganan beasiswa, PUNGLI.

Awal permasalahannya sederhana, mahasiswa yang mendapatkan beasiswa diingatkan oleh petugas kampus untuk “mengucapkan terima kasih”, tapi ucapan terima kasih saja ternyata belum cukup tanpa salam tempel. Beberapa mahasiswa menerima diperlakukan seperti itu, dan akhirnya memberikan salam tempel juga pada petugas. Tapi ada juga beberapa mahasiswa yang merasa keberatan dengan hal tersebut, karena petugas kampus MEMAKSA untuk diberi. Aku dan sebagian mahasiswa juga akhirnya memberikan tempel dibalik terima kasih yang kurang ikhlash kami, kamu menuruti kemauan petugas karena RASA TIDAK ENAK dan RISIH saat di tagih terima kasih kami terus-menerus. Tapi sebagian lagi tetap keukeuh tidak mau memberi karena satu dan lain alasan.

Tidak lama, sekitar dua minggu dari penerimaan beasiswa Lembaga Pers Mahasiswa akhirnya mencium ketidakberesan tersebut. Aku menjadi geram melihat keadaan ini, bagaimanapun aku harus bisa menjadi SAKSI yang objektif untuk kasus ini, karena aku termasuk KORBAN. Permasalahannya bukan berapa harga rokok yang di berikan pada petugas, itu bisa saja dikembalikan, selesai semua masalah. Tapi bagaimana dengan sikap PROFESIONAL yang harusnya di tegakkan oleh pihak kampus yang telah dilanggar, dan lagi KEPERCAYAAN dari mahasiswa kepada pihak kampus yang melakukan Pungutan Liar. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan menjadi masalah besar dikemudian hari, bukan lagi antar personalnya tapi juga lembaga dengan masyarakat apabila berita ini sampai keluar wilayah kampus.

Sekarang pers sedang gencar mencari kebenaran berita tersebut, dan aku yakin pihak-pihak yang merasa TERANCAM akan mencari perlindungan dibalik kata “maksunya bukan itu” atau mencari perlindungan pada korban-korban PUNGLI yang tidak mempunyai kekuatan besar dengan mempropagandakan kebohongan. Aku termasuk mahasiswa yang dihubungi oleh oknum-oknum tersebut, entah untuk apa mereka menghubungi ku. Untuk meminta maaf atau mungkin untuk mencari perlindungan? Kita lihat nanti. Yang jelas, aku akan menceritakan apapun yang ku alami.

Aku tidak lagi takut bagaimana SKRIPSI ku nanti, yang penting bagiku sekarang bagaimana sistem pungli yang sudah mengakar ini kita lenyapkan dari lembaga pendidikan antah barantah, tidak peduli oknum yang melakukan pungli tersebut salah dosen pembimbingku, dan bisa saja dia akan mempersulit kelulusanku. Biarlah seperti apa nanti skripsi ku, aku hanya ingin membuka kebusukan yang sedang menggerogoti mahasiswa bukan saja aku. Pungli mungkin saja ada disetiap lini civitas akademika kampus antah barantah tercinta ini, hanya saja belum mendapatkan berita konkritnya. Semoga semua cepat terkuak, tidak ada lagi PUNGLI di area kampus antah barantah, tidak ada lagi yang dirugikan, semua PROFESIONAL dan semua SADAR PORSI SADAR POSISI.

#SAVE LEMBAGA PENDIDIKAN ANTAH BARANTAH

Sabtu, 15 Desember 2012

MENATAP HUJAN DARI KETINGGIAN



Dingin udara malam menembus dinding kamar si nona di lantai 4 asrama putri kampusnya, menyeruak hingga ke bagian terdalam ditubuh yang letaknya tersembunyi jauh dibalik tulang rusuk. malam minggunya hanya ditemani secangkir kopi dan setumpuk beban dipundaknya. "adakah tempat untuk membagi kesahku saat ini" lirih ucapnya tersamar suara hujan yang semakin deras. hujan ditemani kilat dan petir seperti hatinya yang sedang bergejolak mencari tambatan, muara untuk melepas kisah. tak ada yang datang, sendiri diketinggina sudah menjadi kebiasaannya setiap malam minggu datang.

Hatinya pernah tertusuk luka dalam, dalam masa pemulihan lukanya sempat tersiram air garam, membuatnya semakin lama terluka. Tapi itu sudah hampir setahun yang lalu,  hatinya tak terbuka untuk siapapun yang coba mengetuk. Keraguan dan ketakutan merajai hatinya. Seolah tak ada kesempatan secuilpun untuk siapapun.



Hujan makin deras membasahi bumi, si nona masih terpaku di balkon asramanya, menikmati suara hujan yang bersautan dengan jangkrik genggong sambil menatapi redup lampu kota dan mondar mandirnya laju kendaraan. Matanya terfokus pada satu menara tinggi disebelah utara tempatnya berdiri, menara itu lebih tinggi dari tempatnya sekarang berdiri, saat penat mendera ia selalu menghabiskan waktu diatas menara itu, angin diatas sana seakan sellau setuju dengan apa yang ada dihatinya, entah bagaimana bisa si nona berfikir demikian. Ia hanya merasa belum ada orang yang benar2 mengerti dirinya. Mencari sampai akhir takdir menginjak bumi, saat lelah menggunung dipundak dia berdiam menyembunyikan lelah dibalik senyumnya.

Berharap malam ini sang nona bisa tidur lebih nyenyak, tak seperti malam2 sebelum ia menangis dan berteriak di balkon asramanya. SLQ